http://maarifnujateng.or.id/
BELAJAR DAN BEKERJA
Sabtu, 25 Maret 2017
Kamis, 22 Desember 2016
Khutbah Jum'at Jebakan Orang yang Bertakwa
Jebakan
Orang yang Bertakwa
Khutbah I
اَلْحَمْدُ ِللهِ
رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اَلَّذِى خَلَقَ اْلإِنْسَانَ خَلِيْفَةً فِي اْلأَرْضِ
وَالَّذِى جَعَلَ كُلَّ شَيْئٍ إِعْتِبَارًا لِّلْمُتَّقِيْنَ وَجَعَلَ فِى
قُلُوْبِ الْمُسْلِمِيْنَ بَهْجَةً وَّسُرُوْرًا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِى
وَيُمِيْتُ وَهُوَعَلَى كُلِّ شَيْئ ٍقَدِيْرٌ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمـَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَأَفْضلِ
اْلأَنْبِيَاءِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبه أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ،
فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ
إِلاَّ وَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ
الْكَرِيْمِ: بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا . وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ
وَأَبْقَى
Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,
Hampir tiap
Jumat minimal kita mendengarkan anjuran dari sang khatib untuk senantiasa
meningkatkan takwa: memupuk kesadaran ilahiyah yang manifestasinya adalah
melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Anjuran
itu mengandung pesan agar kita semua meningkatkan bukan hanya amal ubudiyah kepada
Allah melainkan juga kebaikan bermuamalah dengan sesama manusia. Juga
mengingatkan kita tentang pentingnya menjauhi maksiat-maksiat, mulai dari yang
paling ringan seperti membuang sampah sembarangan sampai yang terberat seperti
syirik atau memakan harta anak yatim.
Kita semua
tentu bersyukur bila pesan rutin sang khatib itu dapat dipenuhi secara
konsisten. Artinya, ada penambahan kualitas takwa dari waktu ke waktu. Kalau
pun belum terpenuhi, semoga kita termasuk orang-orang yang sedang berikhtiar
memenuhi pesan tersebut sebagai wujud pelaksanaan bunyi Surat Ali ‘Imran ayat
102:
يَا اَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ
وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
Ayat tersebut menekankan tentang usaha menjalani takwa secara maksimal. Kata-kata haqqa tuqâtihi mengasumsikan adanya kerja keras dalam beragama untuk meraih puncak kemuliaan sebagai manusia paling bertakwa. Sebab, inna akramakum ‘indallâhi atqâkum (sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa). Di sini sangat jelas bahwa ukuran kemuliaan adalah takwa, bukan jabatan, kekayaan, garis keturunan, klaim keunggulan ras, atau sejenisnya.
Jamaah
shalat jum’at rahimakumullah,
Namun
demikian, yang mesti dicatat adalah bahwa saat orang menjalani ketakwaan, saat
itu pula ia mengemban tanggung jawab yang lebih berat. Ia bertanggung jawab
untuk selalu istiqamah (konsisten) terhadap amalnya, bertanggung jawab untuk
tidak angkuh atas prestasi ibadah atau amal kebaikannya. Syekh Ibnu Athai’illah
as-Sakandari dalam al-Hikam mengatakan:
أَنْتَ إِلَى
حِلْمِهِ إِذَا أَطَعْتَهُ أَحْوَجُ مِنْكَ إِلَى حِلْمِهِ إِذَا عَصَيْتَهُ
"Engkau lebih membutuhkan belas kasih-Nya ketika taat daripada ketika bermaksiat."
Sudah pasti ketaatan tetap lebih utama daripada kemaksiatan. Ketaatan lebih memberi jaminan tentang kebahagiaan hidup daripada kemaksiatan. Ketaantan juga lebih membawa maslahat bagi masyarakat ketimbang kemaksiatan. Namun, apakah kelebihan-kelebihan itu lantas mengantarkan manusia pada level aman? Tidak. Tugas tak ringan ternyata dipikul setelah itu.
Dengan
menelaah kata bijak Syekh Ibnu Athai’illah tersebut, dapat dikatakan bahwa
orang yang taat lebih memerlukan pertolongan Allah karena ia berada pada
kondisi yang rawan tergelincir. Karena merasa sangat saleh, seseorang bisa saja
punya kecenderungan untuk mengabaikan bahaya dosa-dosa kecil. Karena merasa banyak
ibadah, seseorang kadang punya tendensi meremehkan orang lain. Dan seterusnya.
Demikianlah, ketaatan membawa jebakan yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam
perasaan ‘ujub (bangga diri), angkuh, atau sombong.
Dikatakan
tanggung jawab orang yang taat lebih berat ketimbang orang yang bermaksiat
karena orang yang bermaksiat punya potensi untuk insaf, introspeksi, tobat,
hingga pembenahan diri. Tapi bukan berarti maksiat lebih baik dari taat. Sebab,
yang dibicarakan di sini adalah tentang olah rohani, suasana batin, yang sering
diterlewatkan dari pikiran manusia lantaran tak terlihat oleh kasat mata.
Kebanggaan atas prestasi ibadah kerap muncul samar-samar di dalam hati, dan
justru di sinilah tantangan terberatnya.
Pernyataan
Syekh Ibnu Atha’illah tersebut mengingatkan kita semua bahwa semakin bertakwa
seseorang seharusnya semakin takut ia terperosok pada takabur. Beribadah atau
berbuat baik mungkin adalah hal yang susah, tapi jelas lebih susah beribadah
dan berbuat baik namun tanpa merasa lebih baik daripada orang yang tak
beribadah atau berbuat baik. Karena itu prestasi ketakwaan secara lahiriah
harus diimbangi dengan terus-menerus koreksi diri secara batiniyah.
Dalam al-Hikam
Syekh Ibnu Athai’illah juga menyebutkan:
رُبَّ عُمُرٍ
اتَّسَعَتْ آمادُهُ وَقَلَّتْ أمْدادُهُ، وَرُبَّ عُمُرٍ قَليلَةٌ آمادُهُ
كَثيرَةٌ أمْدادُهُ.
"Kadang umur berlangsung panjang namun manfaat kurang. Kadang pula umur berlangsung pendek namun manfaat melimpah."
Dalam hidup
ini kualitas usia manusia tidak diukur panjang-pendeknya, melainkan sejauh mana
umur itu berfaedah untuk menuju atqâkum (hamba paling bertakwa).
Perbaikan diri berjalan maju: dari yang bermaksiat menjadi taat, dan yang taat
mesti senantiasa bermuhasabah agar tak terseret kepada kemaksiatan baru yaitu
takabur. Semoga kita semua selalu dalam lindungannya, terhindar dari
jebakana-jebakan itu, untuk menjadi orang benar-benar diridhai Allah subhânahu
wa ta‘âlâ.
باَرَكَ اللهُ
لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ
والذِّكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ
رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ
عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ.
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ
وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Alif Budi Luhur
Khutbah Jumat Menyambut Hari Ibu 22 Desember
Khutbah
Jumat Menyambut Hari Ibu 22 Desember
Khutbah I
اْلحَمْدُ للهِ
اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ
النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك
لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى
سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وعلى اله وأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ
الدِّين، أما بعد: فيايها الإخوان، أوصيكم و نفسي بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون،
قال الله تعالى في القران الكريم: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمان
الرحيم: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا
سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ
الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. صدق الله العظيم
وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. صدق الله العظيم
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Setiap tahun
pada bulan Desember ada satu hari yang disebut Hari Ibu. Hampir setiap
negara di dunia ini memiliki Hari Ibu yang peringatannya dilaksanakan pada hari
yang berbeda satu sama lain. Di Indonesia Hari Ibu diperingati setiap tanggal
22 Desember. Di negara-negera Eropa dan Amerika, peringatan Hari Ibu jatuh pada
hari Minggu kedua bulan Mei. Sementara di negara-negara Arab, seperti, Mesir,
Iraq, Saudi Arabia, dan sebagainya Hari Ibu jatuh pada tanggal 21
Maret.
Dari data
tersebut, dapat kita ketahui bahwa di setiap budaya atau bangsa, seorang ibu
diakui memiliki peran sangat penting dalam hidup ini. Adanya peringatan Hari
Ibu di seluruh dunia menunjukkan adanya kesadaran bersama untuk mengakui
sekaligus menghargai jasa-jasa ibu. Jauh sebelum dunia menetapkan
perlunya peringatan Hari Ibu, Rasulullah SAW telah meletakkan dasar-dasar
teologis bahwa seorang ibu diakui sangat mulia sebagaimana ditegaskan dalam
sebuah hadits yang diriwayatakan dari Anas bin Malik RA:
الجَنَّةُ
تَحْتَ أَقْدَامِ الأُمَّهَاتِ
“Surga itu di bawah telapak kaki ibu.”
Hadits
tersebut menegaskan bahwa seorang ibu memiliki kedudukan yang sangat mulia
hingga seolah-olah surga yang begitu indah dan agung saja tidak lebih tingggi
daripada seorang ibu karena diibaratkan berada di bawah telapak kakinya. Kita
semua tahu bahwa telapak kaki adalah bagian paling bawah atau rendah dari organ
manusia. Namun maksud hadits ini adalah bahwa tidak mungkin seorang anak
bisa masuk surga tanpa ketundukan kepada seorang ibu.
Sidang
Jum’ah rahimakumullah,
Rasulullah
SAW mengisyaratkan agar bakti kepada ibu tiga kali lebih besar daripada kepada
ayah sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abi
Hurairah RA:
مَنْ أحَقُّ
الناس بِحُسْن صَحابتي ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أبُوك
“Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Rasulillah SAW. Orang itu bertanya kepada Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak kami sikapi dengan baik. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu bertanya lagi, siapa lagi setelah itu. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu bertanya lagi, siapa lagi setelah itu. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu bertanya lagi. Nabi kemudian menjawab, kemudian ayahmu."
Dari hadits
di atas dapat kita ketahui bahwa perbandingan bakti kita kepada ibu dan ayah
adalah 3 : 1 atau 75 persen : 25 persen. Pertanyaan yang muncul kemudian, atas
dasar apa Rasulullah SAW mengisyaratakan perbandingan seperti itu. Pertanyaan
ini dapat kita temukan jawabannya dalam surat Luqman, ayat 14, dimana
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ
أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي
وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada ibu-bapa; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan susah payah dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada ibu-bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kembalimu.”
Dari ayat di atas, dapat kita ketahui bahwa dalam kaitannya dengan proses kejadian dan kelahiran manusia ke bumi ini, terdapat 4 fase penting. Fase pertama adalah fase yang melibatkan partisipasi dari ayah dan ibu dimana peran ayah sangat menentukan. Dalam fase ini, sel telur sang ibu tidak mungkin terbuahi tanpa pertemuannya dengan seperrma sang ayah. Dengan kata lain tugas alamiah seorang laki-laki atau ayah adalah membuahi sel telur perempuan atau ibu sehingga terjadi kehamilan yang bentuk awalnya berupa gumpalan darah yang dalam Al Qur’an, Surat ke 96, ayat 2 disebut sebagai ‘alaq sebagaimana ayat berikut:
خَلَقَ
الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”
Ayat di atas
menegaskan bahwa proses awal terjadinya manusia adalah gumpalan darah. Hanya
pada fase awal inilah seorang laki-laki memainkan peran alamiah
satu-satunya yang tidak mungkin digantikan oleh perempuan karena sel
telur hanya bisa dibuahi oleh sperma. Maka bisa dimengerti bakti seorang
anak kepada ayah dibadingkan dengan ibu adalah 1 : 3 karena dalam 3 proses
berikutnya seorang ayah sudah tidak terlibat lagi. Masing-masing dari ketiga
proses ini sepenuhnya dilakukan oleh ibu dengan susah payah dan penuh risiko.
Hal ini berbeda sama sekali dengan proses awal atau fase pertama yang penuh
dengan kenikmatan tanpa risiko berarti.
Sidang
Jum’ah rahimakumullah,
Setelah
selesainya proses pertama, yakni pembuahan sel telur oleh sperma, maka proses
berikutnya atau kedua adalah kehamilan. Dalam proses ini, seorang ibu harus
mengandung si janin dalam kandungan selama rata-rata 9 bulan. Selama 9 bulan
ini, tidak ada partisipasi ayah sama sekali karena organ laki-laki memang tidak
dirancang untuk bisa mengandung seorang bayi. Hingga kini pun tidak ada
teknologi yang bisa membuat laki-laki berpartisipasi atau mengambil alih tugas
mengandung. Bayi tabung pun juga tidak bisa dikembangkan dalam organ laki-laki
karena faktanya laki-laki memang tidak memiliki rahim.
Dalam fase mengandung ini, seorang ibu mengalami kesusahan demi kesusahan yang didalam Al Qur’an digambarkan sebagai وهنا على وهن , yakni keadaan susah payah dan lemah yang dari hari ke hari bukannya makin ringan tetapi makin berat.
Dalam fase mengandung ini, seorang ibu mengalami kesusahan demi kesusahan yang didalam Al Qur’an digambarkan sebagai وهنا على وهن , yakni keadaan susah payah dan lemah yang dari hari ke hari bukannya makin ringan tetapi makin berat.
Sidang
Jum’ah rahimakumullah,
Setelah
proses kedua selesai, disusul proses ketiga yang merupakan puncak dari proses
kehamilan, yakni proses melahirkan. Lagi-lagi dalam proses melahirkan ini tidak
ada keterlibatkan seorang ayah. Seorang ibu harus berjuang sendiri untuk bisa
melahirkan dengan selamat, baik selamat bagi dirinya sendiri maupun bayi yang
dilahirkannya. Tugas ini ber-risiko tinggi karena secara langsung
berkaitan dengan keselamatan jiwa. Tentunya telah sering kita dengar beberapa
perempuan meninggal saat melahirkan. Dalam proses melahirkan ini, sang
ayah juga tidak bisa berbuat banyak untuk meringankan beban sang ibu.
Seringkali terjadi, sang ayah tak sanggup dan tak tega menyaksikan sang
ibu sedang berjuang melahirkan karena penderitaan yang dialaminya sangat berat
dengan nyawa sebagai taruhannya. Seringkali pula, sang ayah hanya bisa menangis
penuh kekhawatiran sambil berdoa mudah-mudahan sang ibu bisa melahirkan
dengan selamat.
Sidang
Jum’ah rahimakumullah,
Setelah
proses ketiga selesai, disusul proses keempat, yakni menyusui. Dalam proses
menyusui ini, sang ibu harus berhati-hati dan selalu menjaga diri sebaik
mungkin karena apa yang terjadi pada dirinya bisa berdampak langsung pada si
bayi. Sang ibu harus sanggup berjaga menahan kantuk, baik siang maupun malam.
Ketika si bayi haus dan lapar dan membutuhkan ASI, seorang ibu harus selalu
siap memberikannya. Dalam tugas ini, sang ayah juga tidak bisa berbuat banyak
untuk meringankan beban sang ibu. Berbagai resiko, baik fisik maupun non-fisik
pun, juga sering dihadapi para ibu yang sedang menyusui.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Al-Qur’an
memberitakan masa menyusui adalah dua tahun sebagaimana bunyi ayat:
وفصاله في
عامين
“Dan menyapihnya dalam usia dua tahun.”
Masa dua
tahun menyusui dengan ASI adalah ideal terutama bagi ibu-ibu yang memang
memiliki kesempatan untuk itu. Tetapi bagi mereka yang memiliki masalah
tertentu, maka setidaknya selama 6 bulan pertama dapat mengusahakannya sebab
selama itu ASI bersifat eksklusif. Ini merupakan standar
internasional yang didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya
tahan hidup bayi, pertumbuhan, dan perkembangannya. ASI memberi semua energi
dan gizi yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan pertama hidupnya. Pemberian ASI
eksklusif mengurangi tingkat kematian bayi yang disebabkan berbagai penyakit
yang umum menimpa anak-anak seperti diare dan radang paru, serta mempercepat
pemulihan bila sakit dan membantu menjarangkan kelahiran.
Sidang
Jum’ah rahimakumullah,
Mengingat
beratnya tugas ibu, yakni tiga hal penting yang terdiri dari: mengandung,
melahirkan dan menyusui, maka bisa dimengerti mengapa Nabi Muhammad SAW
mengisyaratkan agar hormat dan bakti kepada ibu lebih besar daripada kepada
ayah. Sebagaimana saya uraikan di atas, perbandingannya adalah 3 : 1.
Perbandingan ini masuk akal dan adil.
جعلنا الله
وإياكم من الفائزين الأمنين، وأدخلنا وإياكم في زمرة عباده المؤمنين : أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمن الرحيم: يايها الذين امنوا اتقوا
الله وقولوا قولا سديدا. بارك الله لي ولكم في القران العظيم ونفعني وإياكم بما
فيه من الايات والذكرالحكيم، وتقبل مني ومنكم تلاوته انه هو الغفور الرحيم، وقل رب
اغفر وارحم وانت خيرالراحمين
Khutbah II
الحمد لله الحمد لله الذي أكرمنا بدين الحق المبين،
وأفضلنا بشريعة النبي الكريم، أشهد أن لا اله إلا الله وحده لا شريك له، الملك
الحق المبين، وأشهد
أن سيدنا ونبينا محمدا عبده و رسوله، سيدالأنبياء والمرسلين، اللهم صل و سلم وبارك
على نبينا محمد وعلى اله وصحبه والتابعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما
بعد: فيأيها الناس اتقوا الله، وافعلوا الخيرات واجتنبوا عن السيئات،
واعلموا أن الله يأمركم بأمربداْ فيه بنفسه، فقال عز من قائل: إن الله وملائكته
يصلون على النبى، يا أيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صلّ
على سيدنا محمد و على آل سيدنا محمد. اللهم اغفر للمؤمنين
والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الاحياء منهم والاموات انك سميع قريب مجيب الدعوات،
وغافر الذنوب انك على كل شيئ قدير. ربنا اغفر لنا ذنوبنا ولإخواننا الذين سبقونا
بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رءوف رحيم، ربنا آتنا في
الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار. والحمد لله رب العالمين. عبادالله،
إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي
يعظكم لعلكم تذكرون. فاذكروا الله العظيم يذكركم واشكروه على نعمه يزدكم ولذكرالله
اكبر.
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Kamis, 08 Desember 2016
Hari Jum'at
- Hari Jum'at pada dasarnya sama dengan hari-hari lain dalam satu minggu yang jumlahnya ada tujuh. Mari kita reviev kembali masing-masing nama hari tersebut:
- Pertama hari ahad diambil dari kata dalam bahasa Arab أحد (ahadun) yang artinya satu, dalam hal ini hari ahad adalah hari pertama dalam hitungan mingguan.
- Kedua hari Senin yang berasal dari bahasa Arab إثنين (isnaini) yang artinya adalah dua.
- Selanjutnya tunggu posingan berikutnya. next time..
Minggu, 27 November 2016
Langganan:
Postingan (Atom)